Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Cermin yang Mengertiku

Senin, 3 Februari 2025 17:17 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cermin diri
Iklan

Perjalanan emosional seorang remaja yang terasingkan karena dihina teman-temannya di sekolah. Lalu dia menemukan kenyamanan dalam bercermin, tempat di mana dia merasa diterima tanpa penghakiman.

***

Sudah hampir seminggu aku masuk sekolah baru. Aku pikir semuanya akan baik-baik saja, tapi ternyata aku salah. Sejak hari pertama, tatapan mereka menusukku seperti belati. Bisikan-bisikan di belakangku terdengar lebih tajam dari teriakan.

"Lihat dia."

"Mukanya, kok, begitu?"

"Kasihan sekali, pasti nggak punya teman."

Aku menunduk, menggenggam erat tali ranselku. Aku mencoba tidak peduli. Tapi bagaimana bisa? Kata-kata mereka menggema di kepalaku, berputar seperti kaset rusak yang terus diputar ulang.

Bahkan guru pun seakan tak peduli. Saat mereka menertawakanku di kelas, guru hanya melirik sebentar lalu kembali mengajar. Seolah-olah aku tidak ada. Seolah-olah aku bukan bagian dari dunia ini.

Setiap jam istirahat, aku selalu datang ke toilet. Bukan karena aku butuh, tapi karena itu satu-satunya tempat di mana aku bisa sendiri. Satu-satunya tempat di mana tidak ada yang mengejek dan tertawa.

Di sana, aku berdiri di depan cermin. Menatap bayanganku sendiri.

Aku menyentuh permukaannya. Dingin. Seperti hatiku saat ini. Aku bertanya dalam hati, apa yang salah denganku? Mengapa mereka menghinaku?

Cermin tidak menjawab. Tapi aku merasa ia mengerti.

Aku bercerita padanya tentang hariku yang menyakitkan. Tentang bagaimana aku ingin menghilang. Tentang bagaimana aku merasa sendirian.

Dan saat aku tersenyum kecil—palsu, tentu saja—cermin ikut tersenyum. Saat aku tertawa, cermin pun ikut tertawa. Bukan untuk mengejek, tapi seolah ikut merasakan sakitku.

Hari-hari berlalu, dan aku terus datang ke cermin yang sama. Aku berbicara padanya lebih dari aku berbicara pada siapapun di dunia nyata. Aku menangis di depannya, tertawa bersamanya, dan berharap bahwa suatu hari, bayangan di cermin bisa memberiku jawaban.

Suatu hari, aku berdiri di depan cermin lebih lama dari biasanya. Cahaya remang dari jendela kecil toilet membuat bayanganku terlihat lebih samar.

"Aku lelah," bisikku.

Cermin menatapku tanpa berkedip. Seolah menolak melepas pandangannya dariku.

"Aku ingin berhenti."

Cermin tetap di sana, diam. Tapi entah mengapa, aku merasa seolah ia berbicara. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu.

Lalu aku teringat sesuatu.

Aku menarik napas dalam. Dengan sisa kekuatan yang kupunya, aku mencoba tersenyum. Sedikit saja.

Dan cermin tersenyum kembali.

Cermin ikut tertawa ketika aku merasa bahagia.

Cermin ikut marah ketika aku merasa marah.

Dan cermin ikut menangis ketika aku merasa terluka.

Mungkin, dunia tidak akan berubah.

Orang-orang mungkin masih akan menatapku dengan hinaan. Tapi jika aku tetap melihat diriku dengan kebencian, maka cermin pun akan memantulkan hal yang sama.

Aku ingin percaya, bahwa dibalik semua luka ini, aku masih bisa sembuh.

"Terima kasih," bisikku pada cermin.

Untuk pertama kalinya, aku merasa ada yang benar-benar mengerti.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Bernardus Dimas

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Cermin yang Mengertiku

Senin, 3 Februari 2025 17:17 WIB
img-content

Overthinking-ku di Usia 20 Tahun

Jumat, 31 Januari 2025 06:56 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua